Tahukah Anda, tidak semua penyakit
membutuhkan obat, antibiotik dapat membuat bakteri jahat di dalam tubuh menjadi
kuat, dan kejang demam adalah "monster" yang baik hati.
(kutipan dari buku "Smart
Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)
Hal ini membuktikan firman Allah dalam Al-Qur'an surah At-Thin ayat 4 yang artinya :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"
Pada dasarnya ketika virus/ kuman (dalam
kadar yang wajar) menyerang tubuh manusia, imun/ daya tahan tumbuh tubuh akan
bekerja memberikan reaksi otomatis dalam demam atau batuk karena melawan
serangan virus tersebut. dan dalam proses tersebut sesungguhnya imun tubuh akan
meningkat.
Malik tergolek lemas.
Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah
seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan
tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan
setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas
habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan.
Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
"Just wait and
see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.
"Haa? Just wait
and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang.
Ya…ya…aku tahu sih
masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada
gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh!
Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
"Obat penurun
panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that
is not necessary if the fever below 40 C."
Waks! Nggak perlu
dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?
Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin
ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik
obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah
lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk
obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian,
demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah.
Aku segera kembali ke
dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium
baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
"Anakku ini suka
muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter
menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"
Aku mengangguk.
"Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
Eh tak tahunya
mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih
syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak
diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk
anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
Huuh! Walaupun dokter
itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya.
Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak
nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih
bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban
kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas
nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter
dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen
juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang
ibuprofen nggak baik buat anak!"
Seperti rentetan
peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
"Mana Malik
nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau
suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda
itu!"
Suamiku menimpali,
"Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke
dokternya?"
Aku menarik napas
panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin
buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
Mendadak aku
kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak
mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian
anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil
ilmu yang kudapat.
Dan itu lah yang
terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas
Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak
pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep
cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep
ajian senior!
Setelah Malik sembuh,
beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara
Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya
memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang
hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali
mendengarnya batuk.
Suara uhuk-uhuk itu
baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya.
Duuh Gustiiii…kenapa
tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat
rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada
putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima
hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu
mengecewakan aku.
"Just drink a
lot," katanya ringan.
Aduuuh Dook! Tapi
anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
"Apa nggak perlu
dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
"This is mostly
a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.
Ggrh…gregetan deh
rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak
pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
"Lalu Dok, buat
batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku
ngeyel.
Dengan santai si
dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat
juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah… kali
ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan
perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya
berisi ekstrak daun thyme dan madu.
"Kenapa sih
negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku
masih
saja sering mengomel
soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu
untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat
yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya
langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi
dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran,
tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku
hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam,
batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
Meski baru sehari,
dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah
aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu
ada dalam kantong plastik obatku.
Tak lama berselang
putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku
kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan
sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu
ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke
huisart.
"Dok anak ini
koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok."
Setelah mendengarkan
dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,
huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
Aduuuh Doook… apa
nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.
"Tapi Dok, dia
sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel
seperti biasa.
Dokter tua yang
sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times
normally children get sick every year?"
Aku terdiam. Tak tahu
harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
"Twelve time in
a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya
kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,"
sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa
menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang
ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah
sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini
kurang belajar.
Setelah aku bisa
beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan
internet.
Suatu saat aku
menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari
Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang
terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi
observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3
minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan
huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di
Indonesia dulu.
"Bila ini yang
terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya,"
Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung
antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan
oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi
imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit
setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Lingkaran setan ini:
sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si
anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."
Hwaaaa! Rupanya ini
lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini
sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku.
Eh..sebetulnya..bukan
salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali
lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan
rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik
untuk penyakit khas
anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik.
Disini, mereka jadi
jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
Kemudian, aku membaca
lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku
tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga
pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana
perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti
baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat
penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari
anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah
panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin.
Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di
Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan
rasional.
Belakangan aku pun
baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada
anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai
secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar,
Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga
tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di
kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama
pada anak yang engalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke
huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin
banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.
Jadi, bagaimana
dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal
mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan,
ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit
anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan
obat-obatan yang tak perlu.
Sementara kita yang
tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan
sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam
sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak
diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter
memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang
dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter
dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula
dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik
dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret?
Malah aku sendiri
dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar
dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak
malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar
jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi
mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu
sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya.
Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang
mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya.
Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di
negeri kompeni ini.
Apalagi dengan
masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi
bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti
terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Tapi yang pasti kini
aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia
dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa
obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa
penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku
baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang
adalah ke dokter = dapat obat?
Sehingga tak jarang
dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga
sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional
belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan
dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja
tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia
saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
Lalu dimana ujung
pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya.
Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak
bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas
kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi
seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat
sungguh seperti pungguk merindukan bulan.
Yang pasti, sebagai
pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan
untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah
kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional
dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan
http://agnes.ismailfahmi.org/books/smart-patient.php
http://catatanbundarasyad.blogspot.com/2011/03/smart-patient.html
0 comments:
Post a Comment